Oleh : Susan Daniati, S.Pd.I.,M.Pd. *

Moderasi atau wasathiyyah bukanlah sikap yang bersifat tidak jelas atau tidak tegas terhadap sesuatu bagaikan sikap netral yang pasif, bukan juga, sebagaimana dikesankan dengan pengertian wasath yakni “pertengahan”. Pemahaman yang mengantar pada dugaan bahwa wasathiyyah tidak menganjurkan manusia berusaha mencapai puncak sesuatu yang baik dan positif seperti ibadah, ilmu, kekayaan, dan sebagainya, adalah paradigm dan persepsi yang kurang tepat.
Karena kata “moderasi” memiliki korelasi dengan beberapa istilah. Dalam bahasa Inggris, kata “moderasi” berasal dari kata moderation, yang berarti sikap sedang, sikap tidak berlebih-lebihan. Juga terdapat kata moderator, yang berarti ketua (of meeting), pelerai, penengah (of dispute). Bahkan kata moderation berasal dari bahasa Latin moderatio, yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “moderasi” berarti penghidaran kekerasan atau penghindaran keekstreman. Nah, moderasi ini adalah serapan dari kata “moderat”, yang berarti sikap selalu menghindarkan perilaku atau pengungkapan yang ekstrem, dan kecenderungan ke arah jalan tengah. Ibarat kata “moderator” berarti orang yang bertindak sebagai penengah (hakim, wasit, dan sebagainya), pemimpin sidang (rapat, diskusi) yang menjadi pengarah pada kegiatan seminar, workshop yang membincakankan atau mendiskusikan berbagai masalah. Jadi moderasi beragama adalah cara pandang kita dalam beragama secara moderat, yakni memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri. Ekstremisme, radikalisme, ujaran kebencian (hate speech), hingga retaknya hubungan antar umat beragama, merupakan problem yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini.
Pandangan Quraish Shihab, terkait moderasi beragama dalam konteks Islam sebenarnya sulit didefinisikan. Hal itu karena istilah moderasi baru muncul setelah maraknya aksi radikalism dan ekstremisme. Menurutnya pengertian moderasi beragama yang paling mendekati dalam istilah Al-Qur’an yakni “wasathiyah”. Sedang Komaruddin Hidayat, berpandangan bahwa pengertian moderasi beragama muncul karena ada dua kutub ekstrem, yakni ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Ekstrem kanan terlalu terpaku pada teks dan cenderung mengabaikan konteks, sedangkan ekstrem kiri cenderung mengabaikan teks. Oleh karena itu, moderasi beragama berada di tengah-tengah dari dua kutub ekstrem tersebut, yakni menghargai teks tetapi mendialogkannya dengan realitas kekinian.
Moderasi beragama pada dasarnya berusaha memperkuat untuk mencapai misi utama agama: membawa kedamaian, kerukunan, kesalamatan, tolong menolong, kerjasama, toleransi. Moderasi beragama diharapkan dapat mengembalikan masyarakat agar memahami, menghayati dan mengamalkan misi profetik agama, yang secara umum membawa rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin). Seperti : nilai-nilai Tawassuth (Tengah-tengah), I’tidal (Tegak Lurus), Tasamuh (Toleran), Syura (Musyawarah), Ishlah (Perbaikan), Qudwah (Kepeloporan), Muwathanah (Cinta Tanah Air), La ‘Unf (Anti Kekerasan), I’tiraf al-‘Urf (Ramah Budaya). Hal ini merupakan 9 nilai Moderasi Beragama yang telah di kembangkan oleh Kementerian Agama RI.
Sekarang ini moderasi beragama semakin perlu dan dapat menjadi solusi dalam mengatasi berkembangnya radikalisme, termasuk di lingkungan dunia pendidikan. Jika tidak diatasi segara, situasi ini menjadi ancaman bagi dunia pendidikan. Karenanya melalui Kementerian Agama telah mendorong usaha memperkuat dan menanamkan moderasi beragama melalui beragam pendekatan dan medium. Salah satunya melalui peran guru pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) dan proses belajar-mengajar. Dimana guru PAI dapat menjalankan 9 nilai moderasi beragama secara massif dengan mengintegrasiakn nilai-nilai moderasi beragama dalam materi pelajaran pendidikan agama Islam. Pertama, mengkaitkan materi pelajaran PAI dalam kehidupan sehari-hari siswa misalnya bagaimana bersikap dan bergaul dengan sesama non muslim, batasan-batasan dalam bergaul dalam ajaran Islam, memberikan pemahaman yang mana haram dan halal dengan menggunakan bahasa yang mudah diterima. Kedua, mengembangkan tiga metode yang efektif: diskusi, kerja kelompok dan karya wisata. Ketiga, menjadi contoh teladan dalam kehidupan sehari -hari bagi siswa.Keempat, melakukan kunjungan ke rumah orang tua siswa. Kelima, bekerja sama dengan seluruh guru dan tenaga kependidikan dalam penerapan nilai – nilai akhlak, nilai – nilai moderat, toleransi. Keenam, pengajian bulanan bagi peserta didik, guru dan tenaga kependidikan, orang tua dan masyarakat sekitar sekolah. Ketujuh, ikut serta dalam beragai kegaitan lomba– lomba baik lomba untuk guru atau peserta didik. Kedelapan, berperan aktif dalam pembinaan oraganisasi dan ekstrakulikuler yang ada di sekolah.
Penanaman dan penguatan 9 nilai moderasi beragama yang dapat dilakukan oleh guru PAI seperti peraktek baik yang sudah di terapakn di SMP Terpadu Al UrwatulWustha, dengan melakukan penguatan moderasi di sekolah ini melalui metode diskusi, kerja kelompok dan karya wisata, penerapkan ketiga metode sangat cocok di terapkan karena disekolah berbasis pesantren. Bahkan metode diskusi dan kerja kelompok dapat merangsang kreatifitas anak, memperluas wawasan, mengembangkan sikap saling menghargai dan membina untuk terbiasa musyawarah dalam memecahkan suatu masalah. Segala aktifitas dilakukan dalam jam pelajaran dan setiap seminggu sekali diadakan diskusi khusus dengan pengurus OSIS dan Rohis yang ada di sekolah untuk lebih mendekatkan keakraban dengan peserta didik, dengan mengembangkan pola berdiskusi yang santai sambil ngaliwet di luar sekolah bincang-bincang santai dengan mereka lebih seru dan akan serasa lebih dekat dengan mereka.
Lebih jauh juga dikembangan kegiatan karya wisata yang diberi muatan penguatan moderasi beragama dilakukan setahun sekali setiap bulan desember. Karya wisata ini biasanya memilih tempat-tempat bersejarah, juga melakukan kunjungan ziarah religi walisongo. Nah metode ini, dijadikan sebagai jalan untuk penerapan nilai-nilai moderasi beragama.
Selain itu, menerapkan moderasi beragama melalui ekstrakulikuler musikalisasi alfiyah dan sholawat, seperti “Shoutul Mahabbah” grup yang ada SMP Terpadu Al UrwatulWustha yang senantiasa tampil dalam berbagai tempat ditengah-tengan masyarkat serta mengikuti berbagai lomba-lomba dan sudah beberapa kali mendapatkan juara. Sekolah ini, berbasis pesantren dan peserta didik dari berbagai daerah, sehingga penerapan moderasi sangat penting di terapkan di sekolah. Dengan menanamkan kepercayaan pada jiwa anak, yang mencakup percaya pada diri sendiri, percaya pada orang lain terutama dengan pendidikannya, dan percaya bahwa manusia bertanggungjawab atas perbuatan dan perilakunya. Ia juga mempunyai cita-cita dan semangat, menanamkan rasa cinta dan kasih terhadap sesama, anggota keluarga, dan orang lain.
Kebiasaan baik ini, merupakan hasil capaian dalam penerapan moderasi beragama d sekolah dalam segi akhlak peserta didik yang lebih terbiasa saling menghargai satu sama lain, prestasi peserta didik juga meningkat, baik akademik maupun non akademik. Disisi lain, dalam mensosialisasikan moderasi beragama di sekolah tentunya tetap mengalami berbagai kendala diantaranya adalah menyamakan persepsi. Penyamaan persepsi ini, selain menyita waktu dalam membangun kesamaan persepsi terkait makna moderat yang berarti tidak menjadi liberal, selain kurangnya prasarana yang ada di sekolah, serta ketentuan peserta didik tidak membawa alat komunikasi sehingga kadang sulit melakukan berkomunikasi.
Kendala ini, menjadi motivasi untuk berinovasi dan belajar kreatif dalam penanaman moderasi, dengan membangun komunitas belajar dan berduskusi untuk meningkatkan kompetesi pengetahuan mengenai moderasi beragama, bersama dengan guru-guru baik di sekolah maupun jaringan guru-gur yang memiliki visi yang sama. Usaha dalam penerapan moderasi Bergama di sekolah agar lebih cepat dipahami dan diterapkanya maka dilakukan pendekatan yang lebih intensif dengan peserta didik dan mengajak peserta didik untuk terus mengkampanyekan nilai-nilai moderasi beragama dengan membuat quotes-qoutes ajakan dalam implementasi moderasi bergama.
Sekolah ini berdiri pada 2009 dengan Badan hukum Yayasan Pondok Pesantren Al-Urwatul Wustha yang didirikan oleh KH. Lukmanul Hakim. Pesantren juga mengambangkan SMK Terpadu Al Urwatul Wustha pada tahun 2015. Visi Pesantren dan Satuan pendidikan ini sebagaimana cita-cita pendiriannay “Penguatan Karakter” adalah “menjadi sekolah yang kuat dalam IMTAQ, IPTEK, mulia dalam akhlak, unggul dalam prestasi”, dan disiplin. Sehingga penguatan karakter atau akhlak merupakan salah satu tujuan penting sebagaimana visi pesantren yang berlokasi di Gunung Kondang Kelurahan Mangkubumi Kecamatan Mangkubumi Kota Tasikmalaya Jawa Barat.
* Penulis : Guru SMP/SMK Terpadu Al Urwatul Wustha