Jakarta, Ma’arif NU Online.- “Peta jalan pendidikan menjadi pengikat para pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Dengan adanya peta jalan pendidikan, pendidikan di Indonesia dapat dikawal secara konsisten meskipun terjadi pergantian pengambil kebijakan di bidang pendidikan. Peta jalan menjadi pengikat para pengambil kebijakan di bidang pendidikan.”, demikian dinyatakan Ketua LP Ma’arif NU PBNU, Z. Arifin Junaidi, saat mendampingi Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA memberikan masukan kepada Mendikbud Nadiem Makarim tentang Peta Jalan Pendidikan 2020-2035, selasa 25 Januari 2021 di PBNU.

Setelah menyampaikan apresiasi kepada Mendikbud atas inisiatifnya menyusun peta jalan, Arifin menyampaikan, pola pikir yang ada seharusnya tidak mengabaikan dimensi historis bangsa Indonesia yang menjadi titik awal refleksi, evaluasi dan antisipasi bagi kebijakan pendidikan di masa depan. “Visi pendidikan di masa depan seharusnya mendasarkan diri pada dimensi sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Cita-cita besar para pendiri bangsa tetap harus menjadi orientasi kebangsaan dalam mendesain kebijakan pendidikan di masa depan.”, tegas Arifin.
Peta jalan (road map) pendidikan seharusnya merujuk pada peraturan perundangan yang berlaku, baik UU maupun PP. “Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) perlu dijadikan rujukan, karena merupakan komponen penting yang seharusnya menjadi landasan analisis kritis dalam penyusunan peta jalan pendidikan.”, katanya. Hal ini karena sampai saat ini persentase peserta didik dari kalangan perempuan masih cukup kecil. Ini bisa menghambat upaya keseteraan gender.
Masuk ke konsep peta jalan yang telah disusun, Arifin menyampaikan, aspek pengembangan peserta didik tidak hanya aspek konowledge, skill dan attitude, tapi ditambah dengan aspek pengembangan sosial. Mengenai pusat pendidikan yang selama ini disebut tri pusat pendidikan, yakni keluarga, sekolah dan masyarakat, perlu ditambah satu lagi yakni “tempat ibadah”, sehingga menjadi catur pusat pendidikan. Arifin menyampaikan fakta, di tengah pelanggaran norma sosial dan susila yang terus meningkat, pelakunya hampir tidak ada dari kalangan lembaga pendidikan yang menjadikan tempat ibadah sebagai bagian dari tempat untuk menempa religiusitas dan karakter, seperti pesantren, sekolah minggu, ashram dll.
Lebih lanjut disampaikan, di dalam sistem pendidikan seharusnya terdapat dimensi antropologi manusia Indonesia, yaitu bagaimana kita memandang manusia Indonesia yang memiliki akar budaya bangsa, tradisi spiritual-religius, dan sebagai makhluk ciptaan-Nya memiliki tugas dan panggilan yang unik sebagai individu dan warga negara. Isi fundamental sebuah sistem pendidikan adalah visi besar pendidikan masa depan, yaitu sistem pendidikan Indonesia masa depan akan membentuk dan mempersiapkan warga negara dengan kompetensi dan karakter yang sesuai dan andal. Berkaitan dengan perkembangan teknologi, peta jalan perlu diperkaya dengan fenomena kesadaran baru umat manusia yang hidup dalam dunia tanpa batas, yang semakin menyadari diri dan komunitasnya sebagai penanggung jawab dan pemelihara kehidupan di bumi, dan kesadaran sebagai satu keluarga umat manusia dalam persaudaraan universal.
“Dalam konsep Kemendikbud, profil Pelajar Pancasilalebih banyak berbicara pada tataran individual, sementara pada dimensi sosial hanya dikaitkan dengan kemampuan berkolaborasi yang sedari dulu menjadi ciri bangsa Indonesia. Dimensi kewarganegaraan yang menjadi bagian penting dalam ideologi Pancasila seharusnya menjadi bagian penting dalam profil lulusan pendidikan Indonesia.”, kata Arifin.
Mengenai merdeka belajar, Arifin memberi catatan, “istilah kunci dalam peta jalan pendidikan lebih baik mengacu langsung pada esensi transformasi dan partisipasi yang ingin dikembangkan, yaitu pendidikan transformatif dan partisipatif yang tidak bias kepentingan kelompok atau mengacu pada kebijakan periode tertentu, sehingga spirit pendidikan transformatifdan partisipatif menjadi alur utama transformasi pendidikan di masa depan.”
Tentang ikon program Mendikbud saat ini yaitu guru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak, Arifin menyampaikan, Konsepguru penggerak, sekolah penggerak, dan organisasi penggerak, apalagi yang diseleksi, akan melahirkan kelompok elit, yang dianggap sebagai aktor utama perubahan pendidikan. “Konsep seperti ini tidak demokratis, berdampak pada pembiaran pemberdayaan pelaku pendidikan, yang secara simultanseharusnyadiintervensiolehKemendikbudsebagai pelaksana kebijakan.”, tegas Arifin.
Menurut Arifin, Standar Nasional Pendidikan (SNP) ke depan tetap diperlukan. SNP merupakan kriteria minimal yang perlu dipenuhi oleh penyelenggara pendidikan agar dapat memberikan kualitas, untuk menjaga kualitas layanan yang sama, yang sifatnya minimal, untuk seluruh satuan pendidikan di Indonesia. SNP sangat diperlukan sebagai orientasi dasar pengembangan bagi satuan pendidikan yang belum mampu mencapai SNP serta menjadi panduan bagi satuan pendidikan dan Pemerintah Daerah dalam mendampingi dan mengembangkan satuan pendidikan agar memenuhi SNP.
Memungkasi masukannya, Arifin menyatakan, tanpa langkah afirmasi dari pemerintah sejumlah indikator yang ada dalam desain peta jalan pendidikan, seperti kompetensi guru, apresiasi kinerja dan gaji guru, sarana prasarana, dan metode pembelajaran yang akan diterapkan menjadi tantangan yang berat bagi satuan pendidikan swasta, termasuk lingkungan NU. “Akses terhadap sumber daya yang selama ini disediakan pemerintah, belum sepenuhnya dapat diakses oleh satuan pendidikan swasta yang mayoritas melayani pendidikan bagi masyarakat miskin, desa, marginal dan pinggiran.”, pungkas Arifin.