Jakarta – Inilah pertama kalinya terjadi dalam sejarah umat Islam beribadah di bulan Ramadan dalam kesenyapan. Ini semua karena merebaknya pandemi Covid-19 yang melanda dunia. Lebih dari 200 negara yang terjangkit Covid-19 dan karenanya melakukan pembatasan-pembatasan, termasuk negara besar dan maju seperti Amerika Serikat, Australia, negara-negara di Eropa, Afrika dan Timur Tengah. Semua kebingungan harus melakukan apa untuk menghadapi Covid-19.
Beberapa negara menerapkan lockdown, terbatas ataupun luas, termasuk negeri kita menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dibeberapa kota untuk memutus mata rantai penyebaran virus. Pemerintah meminta masyarakat untuk tidak keluar rumah, menerapkan social distancing dan physical distancing, serta menghindari kerumunan. Untuk mendukung upaya pemerintah itu, dua organisasi Islam terbesar di negeri ini, NU dan Muhammadiyah mengeluarkan edaran, imbauan, dan panduan, untuk pelaksanaan ibadah dibulan Ramadan ini. Intinya umat Islam diminta beribadah di rumah masing-masing. Ini sebabnya masjid dan mushala tidak menyelenggarakan rangkaian ibadah Ramadan.
Apakah Ramadan yang senyap ini mengurangi makna ibadah puasa dan lain-lain di bulan Ramadan ini? Kewajiban melaksanakan puasa dibulan Ramadan termaktub dalam Surat Al Baqarah ayat 183 yang artinya,“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Jadi jelas, tujuan berpuasa adalah agar kita menjadi orang bertakwa.
Apakah takwa itu? Takwa berasal dari kata waqa-yaqi-wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi. Secara terminologi takwa adalah takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan tidak melanggar dengan menjauhi segala larangan-Nya, serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa.
Takwa terulang dalam Al-Qur’an sebanyak 259 kali dengan segala derivasinya yang mengandung makna cukup beragam, di antaranya memelihara, menghindari, menjauhi, menutupi, dan menyembunyikan. Berdasarkan makna itu, maka saat kita memelihara diri, menghindar dan menjauh dari sesuatu yang akan mengakibatkan kebinasaan adalah bagian dari takwa yang menjadi tujuan dari berpuasa. Dengan demikian, ketika kita tidak melaksanakan salat tarawih secara berjemaah di masjid dan musala di saat pandemi Covid-19 merupakan bagian dari takwa yang hendak kita wujudkan melalui puasa.
Ada juga yang memaknai takwa dari huruf-hurufnya, yakni ta’ dari kata tawadlu’ (rendah hati), qaf dari kata qana’ah (rida), waw dari kata wara’(mantap), dan ya dari kata yaqin (yakin). Sikap tawadlu atau rendah hati harus ada dalam diri orang yang bertakwa serta terus dipelihara dan ditingkatkan. Kita tidaak boleh menyombongkan diri, atau merasa paling pintar dan benar dalam segala hal, termasuk dalam hal menghadapi Covid-19. Karenanya kita tidak boleh mengabaikan penetapan pemerintah dalam penetapan pembatasan sosial dan panduan dari para ulama dari dua organisasi Islam terbesar NU dan Muhammadiyah.
Qana’ah adalah rida menerima apa yang ditentukan Allah SWT. Manusia harus mensyukuri apa yang telah dianugerahkan Allah SWT tanpa menggerutu atas apa yang menimpa dirinya. Namun demikian, kita harus tetap melakukan usaha dengan penuh ketekunan. Wara’ atau terhindar dari sifat ragu. Umat Islam tidak boleh memiliki sifat ragu atau meragukan pihak lain. Ini berkaitan dengan kata yaqin yang ada dalam huruf takwa.
Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin mengatakan bahwa ibadah puasa adalah seperempat bagian dari iman. Itu artinya, siapa yang tidak puasa maka imannya kurang seperempat. Ini merupakan kesimpulan Imam Ghazali atas dua sabda Rasulullah SAW: ”puasa merupakan setengah dari kesabaran” dan ”sabar adalah setengah dari iman”. Ditilik dari ayat tentang kewajiban puasa di atas untuk orang beriman, maka orang yang berpuasa, tetapi tidak sabar dengan mengekang diri untuk berinteraksi sosial saat wabah sedang melanda, maka dia bisa-bisa tidak termasuk orang yang beriman. Na’udzu billah min dzalik.
Ditinjau dari pengertian manapun, puasa di bulan Ramadan tidak akan tereduksi maknanya kalau kita tidak melakukan ibadah secara berjamaah di masjid dan mushala. Justru dengan beribadah di rumah kita menunjukkan kualitas ketakwaan kita yang menjadi tujuan ibadah puasa. Ibadah di masjid dan mushala memang baik dan banyak maslahatnya. Namun, diera pandemi Covid-19 ini juga besar kemudaratan dan mafsadahnya. Kita gunakan kaidah dar’ul mafasid muqaddamun ala jablibil mashalih (menghindari kerusakan itu diprioritaskan dari mengambil manfaat/maslahat).
KH. Z. Arifin Junaidi, MBA.
Ketua LP Ma’arif NU PBNU