Haji Mabrur Tak Mesti ke Tanah Suci *)
Oleh KH. Z. Arifin Junaidi **)
اَللهُ أَكْبَرُ 9×. اَللهُ أَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً، لاَإِلهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ، اَللهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ اْلحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ وَفَّقَ مَنْ شَاءَ مِنْ خَلْقِهِ بِفَضْلِهِ وَكَرَمِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَّالَاهُ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ. أَمَّا بَعْدُ، فَإِنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِيْ بِتَقْوَى اللهِ الْقَائِلِ: وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا, وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Setelah memanjatkan puji dan syukur ke hadlirat Allah Swt serta bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw, saya mengajak kepada kita semua, terutama diri sendiri, untuk senantiasa meningkatkan ketakwaan dan keimanan kepada Allah Swt, dengan menjalankan semua kewajiban dan menjauhkan diri dari segala yang dilarang dan diharamkan.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Hari kita berada di salah satu hari raya umat Islam, yakni Idul Adha, yang jatuh pada hari kesepuluh bulan Dzulhijjah, bulan yang di dalamnya kita diwajibkan melaksanakan ibadah haji bagi yang mampu, baik fisik, mental, finansial maupun keamanan. Namun seperti tahun yang lalu, tahun ini pun kita dan umat Islam seluruh dunia, kecuali sekitar 60.000 orang warga Arab Saudi dan ekspatriat di Arab Saudi, belum bisa melaksanakan ibadah haji, karena pandemi covid-19. Itulah keputusan pemerintah Kerajaan Arab Saudi.
Apakah dengan ditiadakannya pelaksanaan ibadah haji kita kehilangan peluang untuk menunaikan rukun Islam kelima, yakni haji, dan kehilangan peluang memperoleh haji mabrur? Kehilangan peluang untuk menunaikan ibadah haji sudah pasti. Tapi kehilangan peluang memperoleh pahala haji mabrur belum tentu. Meski tidak pergi ke tanah suci bukan berarti kita tak bisa memperoleh pahala haji mabrur, sebagaimana kisah inspiratif masyhur yang dialami ulama tabi’in Abdullah ibn Mubarak.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Ketika Abdullah ibn Mubarak melaksanakan ibadah haji, tak sengaja tertidur di Masjidil Haram. Dalam tidurnya, ia bermimpi mendengar dua malaikat sedang bercakap-cakap.
“Berapa banyak umat Islam yang berhaji tahun ini?” tanya salah satu malaikat kepada malaikat lainnya.
“Enam ratus ribu orang. Tapi tidak ada satu pun yang diterima atau mabrur. Hanya ada satu orang tukang sepatu bernama Muwaffaq dari Damaskus yang tak bisa berangkat haji, tapi malah memperoleh pahala haji mabrur. Dan karena tukang sepatu tersebut, semua yang beribadah haji pada tahun ini memperoleh pahala haji mabrur,” ujar malaikat satunya.
Saat terbangun dari tidurnya Ibnu Mubarrak tak percaya dengan yang didengarnya dalam mimpinya. Untuk menjawab rasa penasarannya, sepulang dari perjalanan haji, ia pergi ke Damaskus dan mencari tukang sepatu itu. Setelah bertanya kesana kemari akhirnya ketemulah rumah tukang sepatu bernama Muwaffaq. Untuk menjawab rasa penasarannya tanpa membuang-buang waktu Ibnu Mubarak bertanya pada Muwaffaq.
“Kebaikan apa yang telah kau lakukan sehingga kau bisa tercatat telah berhaji, bahkan mabrur, padahal kau tidak pergi ke tanah suci?” tanyanya.
Muwaffaq menjawab, sebenarnya ia tak tahu bahwa dirinya memperoleh haji mabrur, karena dirinya tidak melaksanakan ibadah haji. Ia bercerita, sudah lama berniat untuk berhaji. “Namun mengingat kondisi ekonomiku, sangat mustahil bisa mengumpulkan uang untuk bekal berhaji. Atas pertolongan Allah, secara tak terduga aku memperoleh rezeki sebesar 300 dirham sebagai ongkos menambal sepatu seseorang,” kata Muwaffaq.
Dengan uang tersebut, Muwaffaq berniat untuk pergi haji, karena menganggap uang itu cukup untuk berangkat haji. Hal ini pun mendapatkan persetujuan istrinya yang sedang hamil.
Sebelum niat itu terlaksana, suatu hari istri Muwaffaq mencium bau masakan dari rumah tetangga. Karena yakin bahwa masakan itu sangat lezat ia sangat ingin makan masakan tersebut.
Muwaffaq pun pergi ke rumah tetangganya dengan maksud meminta sedikit makanan yang baunya tercium oleh istrinya. Muwaffaq yakin tetangganya akan berbaik hati membagi makanan tersebut apabila tahu istrinya sedang hamil.
Ia mendatangi sumber aroma masakah itu dan ternyata berasal dari gubuk yang hampir rubuh. Rumah itu dihuni oleh seorang janda dan enam anaknya.
Muwaffaq mengutarakan maksudnya; istrinya sedang mengidam dan meminta masakan yang aromanya tercium olehnya. Tetapi, keyakinannya tadi salah. Pemilik rumah menolak untuk memberikan makanan tersebut, sekalipun ditebus dengan uang.
“Daging ini halal untuk kami tapi haram untuk tuan,” kata si janda kepada Muwaffaq.
“Mengapa?”, tanya Muwaffaq.
“Karena daging ini adalah bangkai keledai. Bagi kami daging ini adalah halal, karena kalau kami tak memakannya, tentulah kami akan mati kelaparan,” jawab si janda sambil menahan air mata.
“Mendengar ucapan tersebut, aku menangis, dan secepatnya aku pulang. Aku ceritakan kejadian itu kepada istriku, dia pun menangis. Akhirnya, dengan persetujuan istriku uang untuk bekal hajiku kuberikan semuanya kepada janda itu,” kata Muwaffaq.
Ibnu Mubarak tak bisa menahan air mata mendengar kisah itu. Ia tak menyangka amal ibadah si tukang sepatu itu sangat besar.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dari kisah tersebut kita dapat mengambil kesimpulan, haji mabrur bukan monopoli orang yang pergi ke tanah suci, tapi juga orang yang telah berniat namun tak dapat pergi karena lebih mengutamakan untuk menolong tetangga supaya tidak melakukan perbuatan dosa atau alasan kemanusiaan lain. Orang yang pergi ke tanah suci belum tentu memperoleh haji mabrur, apabila menunaikan ibadah hajinya tidak sesuai tuntutan agama; dari niat, biaya, sampai pelaksanaan ibadah hajinya.
Haji mabrur memang menjadi dambaan setiap muslim, karena balasannya adalah sorga. Nabi Muhammad Saw bersabda:
اَلْعُمْرَةُ إِلَى الْعُمرَةِ كَفَّارَةٌ لِمَا بَيْنَهُمَا, وَالْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلّا الْجَنَّة
“Umrah yang pertama sampai umrah berikutnya adalah kaffarat (pelebur) dosa yang dilakukan di antara keduanya, dan haji mabrur tiada balasan baginya melainkan syurga.” (HR Bukhari Muslim).
Karena pahalanya sedemikian besar, yakni sorga, tentu tidak mudah predikat haji mabrur itu diperoleh. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi; yakni pertama, menunaikan ibadah haji harus diniatkan secara ikhlas hanya mengharapkan ridha Allah. Kedua, biaya perjalanan haji bersumber dari rezeki yang halal. Ketiga, menyempurnakan rangkaian ibadah haji sesuai manasik haji yang diajarkan Al Qur’an dan Sunnah. Keempat, rendah hati dan berakhlak mulia.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Predikat haji mabrur merupakan hak perogratif Allah. Kita tidak tahu apakah seseorang itu memperoleh predikat haji mabrur atau tidak.
Yang bisa diketahui hanyalah tanda-tanda haji mabrur itu pada seseorang. Tanda yang pertama haji mabrur adalah thayyibul kalam (santun tutur katanya). Ketika ditanya mengenai ciri haji yang mabrur Rasulullah menjawab “memberikan makanan dan santun dalam berkata”.
Di era medsos ini hal itu bukan hal yang mudah. Terbawa suasana di medsos mungkin kita sengaja atau tidak ikut menyebarluaskan berita bohong (hoax), fitnah, ujaran kebencian (hate speech), intimidasi, bullying, persekusi, kekerasan, dan konten-konten hanya untuk lucu-lucuan atau popularitas dan semacamnya kepada orang atau pihak lain.
Kalau tidak bisa berkata santun; baik bahasa, nada, cara dan isinya, maka diam adalah emas. Rasulullah Saw bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنْ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُت
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik atau diam” (Muttafaq alaih)
Kedua, ith’amuth tha’am, memberikan makanan. Haji mabrur adalah seseorang yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi kepada orang-orang di sekitarnya. Salah satu wujud kepedulian tersebut diwujudkan dengan memberikan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan di sekitarnya. Rasulullah Saw menjawab:
يَا رَسُوْلُ اللهِ, مَا الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ؟ قَالَ: اِطْعَامُ الطَّعَامِ وَافْشَاءُ السَّلَامِ
“Wahai Rasulullah, apa (tanda) haji barur itu? Rasulullah menjawab memberikan makanan dan menebarkan kedamaian”
Kepedulian sosial itu dimulai dan diutamakan dengan tetangga dekat, kiri-kanannya, bukan yang jauh. Demikian pentingnya hubungan dengan tetangga, bisa lihat dari banyaknya hadits tentang itu. Rasulullah Saw bersabda:
لَيْسَ الْمُؤْمِنُ الَّذِي يَشْبَغُ وَجَارُهُ جَائِعٌ اِلَى جَنْبِهِ
“Tidaklah beriman orang yang dirinya kenyang sementara tetangganya lapar sampai ke lambungnya.”
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Tanda ketiga adalah, ifsa’us salam, menebarkan kedamaian kepada orang-orang di sekitar pada khususnya dan umat manusia serta lingkungan alam. Bukan sebaliknya, menebar kebencian, ketakutan, kegaduhan dan teror.
Tanda terakhir haji mabrur adalah menghindari perbuatan maksiat. Dalam hadits riwayat Muslim, Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa haji mabrur adalah orang yang mengerjakan ibadah haji, dan menghindarkan diri dari perbuatan rafats dan fusuq. Orang yang dapat melakukan hal itu akan dikembalikan dalam keadaan seperti saat dilahirkan oleh ibunya, yakni bersih suci.
Rafats memiliki arti perbuatan keji dan tidak senonoh. Sedangkan fusuq memiliki makna perbuatan maksiat atau perbuatan yang menodai akidah atau keimanan. Dengan demikian, haji mabrur adalah orang yang dapat menghindarkan dirinya dari perbuatan keji dan maksiat, baik dalam pikiran, perkataan, maupun perbuatan.
Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,
Dari kisah dan beberapa hadits yang dikutip tadi, maka predikat haji mabrur bisa saja diperoleh oleh orang yang tidak pergi ke tanah suci. Yang memperoleh predikat ini tentu orang yang beriman dan ikhlas sepenuhnya kepada Allah dan hidupnya senantiasa dengan rejeki yang halal dan thayyib.
Selain itu, predikat haji mabrur dapat diperoleh oleh orang yang senantiasa menampakkan dalam sikap, kata dan perbuatan tanda-tanda haji mabrur. Yakni thayyibul kalam (santun tutur katanya), ith’amuth tha’am (memberikan makanan atau punya kepedulian sosial), ifsa’us salam (menebarkan kedamaian) dan senantiasa menghindari perbuatan maksiat dan munkar.
Demikian khutbah kali ini, semoga kita dapat mengambil hikmah dari kisah yang saya sampaikan tadi. Semoga kita dapat mengekspresikan tanda-tanda haji mabrur, sehingga meski kita tidak pergi ke tanah suci kita dapat memperoleh pahala haji mabrur. Semoga kita dapat mematuhi segala apa yang ditetapkan pemerintah dalam menghadapi pandemi, termasuk dalam pengaturan Idul Adha ini. Semoga pula pandemi segera berakhir dan kita dapat menjalani hidup secara normal, sehingga di tahun mendatang kita bisa melaksanakan ibadah haji ke tanah suci Makkah dan memperoleh haji mabrur.
بَركَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْانِ الْعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَ اِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الايَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ, وَتَقَبَّلَ مِنِّى وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ اِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ. اَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَاسْتَغْفِرُاللهَ الْعَظِيْمِ لِى وَلَكُمْ, وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ, وَالْمُؤْمِنِيْنِ وَالْمُؤْمِنَاتِ, فَاسْتَغْفِرُوْهُ اِنَّهُ هُوَالْغَفُوْرُ الرَّحِيْمِ
KHUTBAH II
اللهُ اَكْبَرُ7×. اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْرًا, وَالْحَمْدُ للهِ كَثِيْرًا, وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً, لاَاِلهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ اَكْبَرُ, اللهُ اَكْبَرُ وَلِلَّهِ اَلْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُ لله حَمْدًا كَثِيْرًا كَمَا اَمَرَ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, اِرْغَامًا لِمَنْ جَحَدَ وَ كَفَرَ. وَ اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ وَ حَبِيْبُهُ وَ خَلِيْلُهُ سَيِّدُ الْإِنْسِ وَ الْبَشَرِ.
اَمَّا بَعْدُ: فَياَ اَيُّهاَ النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوا فِيْماَ نَهىَ وَزَجَرَ. وَاعْلَمُوا اَنَّ اللهَ اَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَنَّى بِمَلاَئِكَتِهِ, وَقَالَ تَعاَلىَ: اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِىِّ, يَااَيُهاَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيْماً.
اَللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, وَ عَلَى اَلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ, كَمَا صَلَّيْتَ وَ سَلَّمْتَ وَ بَارَكْتَ عَلَى سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ, وَ عَلَى اَلِ سَيِّدِنَا اِبْرَاهِيْمَ, فِى الْعَالَمِيْنَ اِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
وَارْضَ اللهُمَّ عَنِ الْخُلَفاَءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ اَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْماَنَ وَعَلِىٍ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحاَبَةِ والتَابِعِيْنَ وَتَابِعِى التَّابِعِيْنَ بِاِحْسَانٍ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ, وَارْضَ عَنّاَ مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ ياَ اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِناَتِ والْمُسْلِمِيْنَ والْمُسْلِمِاتِ الاَحْياَءِ مِنْهُمْ وَالاَمْوَاتِ. اَللَّهُمَّ اَعِزَّ الاِسْلاَمَ والْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلِّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ الْمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ اَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَهْلِكِ الْكَفَرَةَ وَالْمُبْدِعَةَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَاَعْلِ كَلِمَتَكَ اِلىَ يَوْمِ الدِّيْنِ. اَللَّهُمَّ اجْعَلْنَا حَجًّا مَبْرُوْرًا وَسَعْيًا مَشْكُوْرًا وَذَنْبًا مَغْفُوْرًا وَعَمَلًا صَالِحًا مَقْبُوْلًا وَتِجَارَةً لَنْ تَبُوْرًا. اَللَّهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا الْغَلاَءَ وَالْوَباَءَ (وَالْكَوْرَوْنَا) وَالرِّباَ والزِّناَ والزَّلاَزِلَ وَالْمِحَنَ وَسُوْءَ ألْفِتَنِ ماَ ظَهَرَ مِنْهاَ وَماَ بَطَنَ عَنْ بَلَدِناَ (اِنْدَوْنِيْسِيَّا) هَذَا خاَصَّةً وَعَنْ سَائِرِ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنِ عَامَّةً إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. رَبَّناَ آتِناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّءْ لَنَا مِنْ اَمْرِنَا رَشَدًا. رَبَّناَ آتِناَ فِى الدُّنْياَ حَسَنَةً وَفِى الاَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِناَ عَذَبَ النَّارِ.
عِباَدَ اللهِ, اِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالاِحْساَنِ وَاِيْتاَءِ ذِى الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَخْشاَءِ والْمُنْكَرِ وَالْبَغْىِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. وَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرُ. وَاللهُ يَعْلَمُ ماَ تَصْنَعُوْنَ.
*) Naskah ini dipersiapkan sejak sebelum ppkm. Disebarluaskan untuk khutbah di rumah atau untuk bahan bacaan saja. Semoga ada manfaatnya
**) Ketua LP Ma’arif NU PBNU