Jakarta – Wabah Corona Virus Disease 2019 (COVID19) di negeri ini, telah berkembang hingga ke seluruh kota dan desa di Nusantara — memberikan banyak dampak menyentuh seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat. Khususnya dalam bidang ekonomi, sosial dan keagamaan. Dan kebanyakan masyarakat mengalami kesulitan mencari nafkah dan kehilangan pekerjaan, untuk mencukupi kebutuhan hidup. Namun sesulit apapun keadaan kita tetap harus beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah SWT karena Pandemi Covid-19 pasti membawa banyak hikmah sebagai sarana hidup di jalan Allah.
Pandemi corona telah menjadikan Ramadhan sangat berbeda dengan ramadhan tahun-tahun sebelumnya, dimana umat Islam harus menjalaninya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dibuat untuk Cegah Penyebaran Corona di Indonesia. Penjara sosial dan penjara fisik — menjadikan kebiasaan beribadah secara komunal seperti tarawih berjamaah, buka bersama, dan lainnya mesti dikurangi bahkan ditiadakan demi memutus mata rantai persebaran corona.
Meskipun Ramadhan 1441 H. ini, fisik dan sosial umat Islam berjarak, bukan berarti empati dan kepedulian sosial umat Islam harus mengalami karantina pandemi. Di tengan kesulitan akibat pandemi Covid-19 ini, justru umat Islam harus semakin menggalakkan sikap solidaritas sosial. Karena ibadah puasa itu pada prinsipnya melatih diri merasakan kelaparan yang dialami kalangan masyarakat yang tidak berkecukupan. Dimana, kadar keimanan sesorang dapat di lihat dari empati dan kepeduliannya terhadap sesama disekitarnya, — sebagaimana sabda Rasulullah SAW — “Tidaklah beriman kepada-Ku orang yang tidur dengan kenyang sementara tetangganya lapar sampai masuk ke lambungnya, sedang dia mengetahuinya.” (HR. At Thabrani).
Shaum ramadhan adalah ibadah yang bertujuan meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan bagi yang melakukannya —tercermin dalam kesalehan individual dan kesalehan sosial. Kesalehan individual tercermin dari perilaku keseharian dalam bersikap, sederhana dan hal-hal baik lainnya. Sedang kesalehan sosial, tercermin dalam bentuk kedermawanan, tanggungjawab sosial, sikap empati dan peduli terhadap sesama.
Karena berbuat baik dan beramal adalah perintah untuk melakukan aksi nyata yang mampu membangkitkan empati, meningkatkan kepedulian, dan mengaktifkan kesadaran toleransi. Senyatanya, indikator ketakwaan seorang muslim, diantaranya memiliki empati — ketulusan, turut merasakan penderitaan sesama, kepedulian untuk berbagi (berderma), dan toleransi — kerendahan hati untuk menerima, mengakui dan menghargai perbedaan (pluralisme). Perspektif akhlak ini, adalah semangat pencegahan hal-hal yang destruktif menjadi basis kesalehan sosial, khususnya menyangkut persoalan kesejahteraan sosial.
Momentum ramadahan di era wabah conona kali ini, diharapkan dapat mengembalikan pemahaman setiap muslim, bahwa puasa ramadhan terkandung pesan sosial yang sangat kental. Puasa mewajibkan setiap Muslim selain harus taat ritual, juga harus taat secara sosial. Dalam pengertiannya yang luas — mengerti tentang hati, rasa, dan memahami bahwa setiap muslim memiliki tanggungjawab sosial yang tidak ringan. Tanggungjawab sosial bukan hanya dengan menjalankan ketaatan-ketaatan ritual saja, melainkan tanggungjawab dalam kerangka memberdayakan — bukan sekedar menyantuni — kaum lemah. Tetapi kewajiban berzakat, infaq dan sedekah harus dimaknai sebagai pemberdayaan — bukan caritas semata.
Berzakat, berinfaq dan bersedekah memang dilakukan umat Islam untuk membersihkan rezeki yang diperolehnya — membuat seseorang lebih dapat bersyukur atas apa yang dimilikinya. Dalam melaksanakan ibadah puasa ramadhan, kita juga diharapkan memiliki rasa empati yang “lebih” dalam meningkatkan kualitas kepedulian kepada sesama sebagaimana ajaran agama Islam untuk saling tolong menolong; Allah SWT memberikan perintah melalui firman-Nya dalam Al-Qur’an : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya, [Al-Mâidah/5:2]:
Dengan banyaknya masyarakat terkena dampak COVID-19 dan berimbas pada kondisi ekonomi yang makin memprihatinkan, dan membutuhkan pertolongan. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj (Kompas.com – 23/04/2020). Menghimbau kepada umat Islam agar mengeluarkan zakat maal, zakat tijarah, zakat pertanian zira’ah dan zakat fitrah dipercepat pada bulan Ramadhan ini. Dasar percepatan pengeluaran zakat fitrah ini, sebagaimana terangkum dalam Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab li al-Nawawi juz 6, h. 87-88, sebagai berikut “Boleh menyegerakan pembayaran zakat fitrah sebelum datang masa wajibnya dikeluarkan. (malam 1 Syawal). Sehingga zakat kita bermanfaat untuk bersama, khususnya bagimasyarakat yang berdampak wabah Covid-19.
Penyegeraan pembayaran zakat fitrah dan zakat maal ini, akan sangat membantu pemerintah dan masyarakat yang saat ini tengah berupaya melawan dan menanggulangi pandemi Covid-19 dan dampaknya. Penyegeraan pembayaran dan penyaluran zakat fitrah, tentu sangat membantu dalam menangani problem bantuan sosial yang di harapkan oleh masyarakat terdampak.Sebagaiamna sikap sosial Rasulullah SAW, mengharuskan adanya alokasi khusus dengan jumlah tertentu dari harta orang-orang kaya. — dalam hadits riwayat Imam Bukhari bersabda: “Zakat yang diambil dari orang-orang kaya di antara mereka lalu didistribusikan kembali kepada kaum miskin di antara mereka,”
Zakat merupakan bentuk ibadah yang memancarkan spirit hikmah yang paripurna — langsung menjalankan perintah ibadah secara seimbang antara hablum minallah (hubungan dengan Allah) dan hablum minan naas (hubungan dengan manusia).Sekaligus membina dan merawat kesalehan individual, dan meningkatkan kesalehan sosial. Ketakwaan yang menjadi sasaran utama pelaksanaan rukum Islam yang keempat ini memiliki dimensi pembinaan dan pemberdayan yang komprehensif, baik bagi pembentukan kualitas hidup individual maupun bagi upaya penciptaan keadaran sosial —damai dan sejahtera
Kewajiban berzakat, selain syahadat, sholat, puasa, dan haji — merupakan salah satu pilar bagi tegaknya Dinul Islam. Berzakat menjadikan kita lebih indah dalam memaknai arti berbagi sesama. Dalam persfektif ekonomi, sepintas zakat merupakan konsumsi untuk pemilik harta yang memerlukan efisiensi yang dimilikinya berkurang. Namun senyatanya, logika ini terbantahkan oleh firman Allah SWT dalam Al-Qur’an — dimaksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, akan digantikan dengan pahala (harta yang bisa membantu yang lain) yang berlipat (QS. Al-Baqarah [ 2]: 251dan QS. Ar-Ruum [30]: 39).
Secara teologis, zakat merupakan sistem dan instrumen orisinil dari sistem ekonomi Islam. Dalam literatur sejarah peradaban Islam, zakat bersama instrumen ekonomi yang lain seperti wakaf, infaq dan sedekah, — untuk kemudian diperuntukkan bagi masyarakat. Kedudukan zakat sebagai wahana pembersihan dan pemerataan harta, — Allah SWT berfirman, “… Dan disediakanlah zakat …” (al-Baqarah: 43). Makna-makna ini terpresentasikan dalam firman Allah SWT, “Ambilah zakat dari harta mereka, guna membersihkan dan menyucikan mereka…”. (at-Taubah: 103). Makna sosialnya, menjadi madrasah (pendidikan) terkait pentingnya pengendalian diri dalam menjalankan ibadah sosial atau kesalehan sosial, dan atau menjalankan ibadah ritual atau kesalehan individu.
Optimalisasi penyegeraan melaksanakan penyaluran zakat dan amaliah Ramadhan lainnya — levelnya menjadi “kesalehan sosial” tercermin dari kedermawanan. Maka berzakat memiliki hikmah yang bersifat multidimensional, menjadi penawar bagi permasalahan — membentuk kesalehan pribadi, tetapi sekaligus juga kesalehan sosial dan kepekaan sosial”. Disisi lain, dengan berzakat seseorang melepaskan sifat keangkuhan, kesombongan, kekikiran menjadi seorang individu yang memiliki rasa empati dan kepedulian sosial — mewujudkan dan meneguhkan nilai-nilai kemanusiaan — kepedulian, kesetiakawanan dan keadilan sosial.
Kepedulian sesama, dan kesetiakawanan sosial. Selain kewajiban menjalankan ibadah puasa dan membayar zakat fitrah, berinfaq dan bersedekah serta mengerjakan amal kebajikan bagi seorang muslim. Bila dikelola secara baik akan menjadi potensi kekuatan sosial bagi masyarakat yang agamis dalam membantu penanganan masalah sosial, seperti dampak Covid-19.Selain dapat melakukan pemberdayaan terhadap kaum dhu’afa. Dengan kata lain, keberpihakan dan kepedulian terhadap kebanyakan masayarakat tidak berkecukupan dalan kondisi seperti ini. Akan mempertebal keyakinan kita untuk kembali pada tuntunan Allah. Karena, kewajiban bagi seorang muslim yang diberikan kelebihan harta untuk berbagi atas dasar kemanusiaan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Ruh sosial, kewajiban menunaikan zakat merupakan wahana membangun kesalehan individu dan kesalehan sosial, sebagai makhluk sosial, — misi suci kebenaran agama sebagai agama kemanusiaan — rahmatan li al ‘aalamiin. Jadi, jangan sampai kalah dengan penularan virus corona, akan tetapi keberpihakan dan kepedulian — rasa tolong menolong juga perlu ditularkansebagai virus dalam kesalehan individu dan kesalehan sosial.
Semoga momentum ramadhan ini menjadikan zakat, infaq dan sedekah kita — menghantarkan untuk menggapai kedudukan taqwa tertinggi di hadapan Allah SWT — Pencipta langit, bumi dengan segala isinya —- sebagai hamba yang menyandang derajat muttaqin. Wallahu a’lam bis showab, minal aidin wal faizin 1441 H.
Harianto Oghie
Sekretaris LP Ma’arif NU PBNU