Jakarta – Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2019 mengumumkan dua warga negara Indonesia (WNI) positif mengidap virus corona atau Covid-19. Itu merupakan kasus pertama yang ditemukan di Indonesia dan jumlahnya terus bertambah hingga saat ini. Kita prihatin karena masih banyak tambahan pasien dan korban meninggal walau telah banyak kebijakan dan upaya yang telah dilakukan pemerintah dan masyarakat. Yang lebih memprihatinkan, penyebaran corona telah merangsek ke desa-desa yang tidak memiliki infrastruktur kesehatan memadai.
Dampak corona telah merenggut banyak korban jiwa, bukan hanya pasien, juga paramedis yang berada pada garda terdepan. Bahaya corona telah memaksa seluruh proses bisnis dan kegiatan ekonomi terganggu, baik bisnis skala kecil maupun besar. Dampak paling nyata adalah berkurangnya pendapatan rakyat di akar rumput dan bertambahnya angka kemiskinan baru.
Dampak ikutannya adalah munculnya problem sosial, terutama untuk kalangan kelas sosial paling bawah yang rentan terhadap aksesibilitas mata pencarian harian. Ojek online tidak bisa menjemput penumpang, pedagang kaki lima terpaksa menutup dagangan, dan pekerja informal yang kehilangan peluangnya. Ketidakpastian nasib juga dialami banyak pekerja lepas yang terpaksa harus hidup tanpa pekerjaan, tetapi tidak bisa pulang bersama keluarga. Semua ini terjadi saat kita sedang memasuki bulan suci Ramadan.
Di balik kesedihan dampak corona, tumbuh inisiatif aksi-aksi ukhuwah, kegotongroyongan, dan solidaritas, yang ditunjukkan oleh banyak individu maupun kelompok masyarakat untuk saling membantu antarsesama dengan menyiapkan masker, sembako, termasuk beberapa anak-anak yang rela membagikan tabungannya membeli alat pelindung diri (APD) untuk paramedis. Gerakan ini dalam teori sosial disebut sebagai solidaritas sosial.
Kita bangsa Indonesia patut bersyukur bahwa corona telah mampu memunculkan ikatan sosial antar individu dan solidaritas sosial yang kuat secara sukarela tanpa komando karena masing-masing individu punya relasi sosial yang kuat untuk membantu sesama. Ada banyak fakta yang menjelaskan bahwa meski banyak individu yang selama ini merasa lebih otonom, sekarang menjadi lebih dekat dengan masyarakat untuk secara simultan mengatasi dampak corona. Ini yang disebut oleh Durkheim sebagai transformasi solidaritas sosial. (Emile Durkheim 1964).
Solidaritas sosial corona yang terbangun di bulan Ramadan adalah momentum dengan landasan teologis yang kuat, yakni perintah Allah Swt untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekah, dalam 39 ayat Al-Qur’an. Perintah zakat, infak, dan sedekah, sebagai ibadah maaliyahyang berdimensi horizontal direlasikan secara kuat dengan ibadah yang bersifat vertikal. Ini menunjukkan bahwa segala upaya solidaritas antarsesama (hablum minan naas) berimplikasi pada kulitas hubungan dengan Allah Swt (hablum minaAllah). (QS Al-Baqoroh: 3, 195, 215).
Dalam kitab Sahih Muslim terdapat satu riwayat dari sahabat Ibnu Abbas RA. Suatu waktu, Nabi SAW mengutus sahabat Mu’adz Ibnu Jabal ke Yaman dalam misi dakwah. Pesan pertama, mensyahadatkan penduduk Yaman dengan mengakui Allah sebagai zat yang wajib disembah, tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad sebagai Rasul-Nya. Pesan kedua,menyampaikan perintah salat lima waktu, dan ketiga perintah untuk bersedekah dari harta bendanya, karena sedekah itu kewajiban harta yang diambil dari aghniya/hartawan yang harus didistribusikan sebagai hak fuqoro dan fakir miskin agar terjadi keadilan.
Keadilan distributif diarahkan terciptanya distribusi hasil kekayaan dan sumber daya secara adil agar terjadi sirkulasi kesejahteraan secara merata kepada mustahik, tidak hanya berputar dan bertumpuk di golongan tertentu saja (oligopolistis). Hal ini sudah diingatkan Allah Swt untuk menjaga jangan sampai sumber daya hanya di bawah kekuasaan orang-orang kaya (QS Al-Hasr: 7).
Penguasaan kekayaan di Indonesia menurut Global Wealth Report (2018), 1% orang kaya Indonesia menguasai 46,6% kekayaan nasional dan 10% orang kaya Indonesia menguasai 75,3% kekayaan nasional. Ini ketimpangan yang nyata, berbanding terbalik dengan Laporan pelaksanaan ZIS (zakat, infak, dan sedekah) nasional yang hanya Rp 8,1 triliun dari potensi nasional Rp 252 triliun. Kita harus mendorong maksimalisasi redistribusi, terutama untuk pemberdayaan masyarakat terdampak corona.
Bulan Ramadhan yang kita jalanani sekarang ini, moment paling mulia untuk mengeluarkan zakat, infak dan sedekah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam At-Turmudzi. Ketika ada seorang sahabat Rasulullah bertanya,”Sedekah seperti apakah yang paling utama?” Nabi menjawab,”Sedekah yang dilakukan di bulan Ramadan.”
Mari kita manfaatkan Ramadan ini untuk membangun solidaritas melalui ZIS bagi komunitas di sekitar kita sesuai kemampuan untuk menyapa kerabat, tetangga, dan masyarakat, yang membutuhkan karena terdampak Covid-19. Sebagaimana diriwayatkan oleh sahabat ‘Urwah bahwa Sayyidah Aisyah RA saat kedatangan tamu seorang perempuan membawa dua anak perempuan yang kelaparan dan meminta makan, beliau hanya bisa memberikan kurma yang tersisa di rumahnya. Di ambilnya kurma dan ibu tersebut memberikan kedua anaknya tanpa dia memakannya dan berpamitan. Ketika Rasulullah SAW mengetahu, beliau bersabda, Siapa pun yang memberikan makan pada anak-anak ini, maka Allah telah menutup pintu neraka.
Saatnya kita bergerak membantu. Akan afdal jika kita sudah mampu memenuhi perintah Allah Swt dengan menafkahkan harta yang paling kita cintai di jalan Allah untuk mencapai kesempurnaan kebajikan (Q Ali Imran: 92). Kalau belum, kita bisa memulai semampu kita, sebagaimana sabda Nabi SAW, Jauhilah neraka walau dengan sebutir kurma yang disedekahkan. (Sahih Bukhori).
Apa yang bisa kita bisa berikan kepada orang lain pada Ramadan di masa Covid-19 ini, walau mewakili nilai minimum, tetapi simbolik maksimum, karena masyarakat butuh bantuan saat ini. Niat dan motif untuk memberi dan berbagi itu bukan isi dari pemberian, tetapi semangatnya yang diperhitungkan. Bukan objek pemberian itu sendiri yang punya nilai, tetapi motif dan perasaan pemberi menentukan dampaknya bagi penerima. Kita semua menyakini bahwa berkontribusi pada kesejahteraan orang lain sesungguhnya melayani kepentingan diri sendiri dan pada saat yang sama secara spriritual. WaAllahu ‘alam.
Saidah Sakwan
Wakil Ketua LP Ma’arif NU PBNU