Jakarta – Ramadan merupakan momen terbaik bagi semua umat Islam dalam melakukan muhasabah, introspeksi diri. Bukan semata, karena Ramadan mendorong kita semua semakin mendekat pada Sang Khalik Yang Maha Agung, tetapi Ramadan sejatinya juga mendorong insan berefleksi: sejauh mana kita telah memperbaiki hubungan kemanusiaan yang sebenarnya melalui batu ujian relasi dengan pasangan nikah, anak, orang tua, dan kerabat terdekat.
Setiap kali Ramadan tiba, bahkan saat bulan masih berjalan menjelang menyambutnya, suasana batin umat Islam menjadi semakin terasa kuat keimanannya. Bulan Ramadan dipenuhi segala aktivitas dengan semangat spiritualitas yang melandasinya. Lantunan ayat-ayat Al-Qur’an semakin sering dibacakan, salat tarawih dan salat malam lebih intens dilaksanakan, serta berbagi kepada sesama dalam bentuk sedekah, infak, dan jariah pun semakin ringan dikeluarkan.
Nilai spiritualitas umat Islam yang meningkat saat Ramadan ini dapat dipahami. Bulan Ramadan adalah bulan yang penuh berkah dan mulia, karena di bulan inilah Al-Qur’an diturunkan (QS. Al Qadr:1-3 & Qs. Ad Dhukhan:3). Dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad Nasai, menjelaskan betapa Ramadan merupakan bulan yang agung, penuh berkah, dan menjadi peluang besar dalam mendulang pahala untuk mendapat rida-Nya.
Keagungan bulan ini juga direfleksikan melalui hadis sahih Bukhari Muslim yang menegaskan bahwa selama Ramadan, pintu surga akan terus dibuka dan pintu neraka ditutup, serta tangan-tangan setan dibelenggu.
Kesungguhan beribadah dan beramal pun teruji, ketika keprihatinan pandemi Covid-19 melanda. Umat Islam harus bersabar dan menahan diri dalam meramaikan suasana Ramadan dengan ibadah-ibadah bersama. Masjid dan musala tampak sepi dari umat Islam yang berjemaah tarawih dan bertadarus demi memutuskan rantai penularan Covid-19. Seluruh aktivitas luar rumah dikurangi, bekerja sedapat mungkin dilakukan dari rumah, dan seluruh aktivitas sosial harus dilakukan dengan meminimalisasi perjumpaan secara langsung sedemikian rupa.
Covid-19 telah mengubah drastis realitas kehidupan manusia di seluruh dunia. Isolasi mandiri menjadikan ruang gerak kita dibatasi secara fisik, bahkan didominasi dalam batas ruang rumah yang ada. Perubahan kondisi ini, tidak hanya menguji nilai spiritualitas kita dalam kesungguhan menjalani ibadah di bulan suci Ramadan, juga menguji kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi segala persoalan yang muncul sebagai dampak pandemi ini.
Perubahan kehidupan yang drastis ini menjadi realitas yang penting direfleksikan di masa Ramadan yang agung ini. Kebijakan untuk tetap di rumah–bekerja, belajar, dan beraktivitas di rumah saja–, tidak selalu menjadi peluang yang menguntungkan bagi semua umat Islam. Kebersamaan yang indah di dalam rumah, dengan intensitas pertemuan anggota keluarga yang tinggi, tidak selalu menjadi kesempatan emas dalam meningkatkan hubungan antaranggota keluarga.
Rumah yang sejatinya merupakan ruang yang aman dapat berubah menjadi ruang yang berpotensi menimbulkan berbagai tindakan yang tidak menguntungkan, merugikan, bahkan menimbulkan kekerasan. Rasa khawatir, ketakutan, ketidakpastian kapan berakhir, impitan ekonomi, dan persoalan kesehatan karena pandemi covid-19 menjadi pemicu meningkatnya kekerasan dalam rumah tangga.
Kerentanan anggota keluarga dalam situasi krisis ini, terutama pada perempuan dan anak-anak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin tinggi. Kondisi ini, tidak hanya terjadi di Indonesia, juga tercatat dalam laporan KDRT di banyak negara, seperti Malaysia, Tiongkok, Jepang, Turki, Libia, Yaman, Suriah, dan negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Prancis, dan Australia.
Ada banyak faktor yang menjadikan kerentanan perempuan mengalami KDRT semakin berlapis. Salah satunya, karena praktik work from home (WFH) cenderung mempraktikkan konstruksi peran gender yang tidak setara. Akibatnya, perempuan mengalami beban ganda, karena selain harus mengurus semua pekerjaan rumah, juga harus tetap bekerja, mendampingi anak-anak dalam belajar, dan memastikan kesehatan keluarga terjaga. Hal yang sama tidak terjadi pada laki-laki.
Dalam suasana Ramadan yang mulia ini, umat Islam penting melakukan refleksi yang dalam terkait relasi antara suami dan istri dalam rumah tangga. Perenungan ini urgen dilakukan sebagai upaya menekan terjadinya KDRT yang terus meningkat di situasi Covid-19. Jika dalam Al-Qur’an, telah begitu banyak ayat yang menjelaskan betapa perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang setara (QS. Adz-Dzariyat: 56, QS. An-Nahl: 97, QS. An Nisa: 124, dan QS. Ali Imran: 195). Bahkan, dalam Qs. Al Hujurat:13 secara tegas Allah menyatakan bahwa hanyalah ketakwaan yang menjadi barometer kemuliaan seseorang di sisi Allah. Maka, bagaimana mungkin seorang muslim sejati melakukan kekerasan pada muslim lainnya?.
Karena sejatinya, KDRT hanya terjadi ketika seseorang menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih mulia daripada korban. Masalah apa pun yang menjadi dampak adanya Covid-19 tidak akan berakhir dalam bentuk kekerasan, sepanjang nilai-nilai Islam masih menjadi rujukan dalam berperilaku dan bertindak. Mari bermuhasabah.
Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah
Bendahara LP Maarif NU PBNU dan Kepala Pusat Riset Gender SKSG Universitas Indonesia