Jakarta – Puasa Ramadan tahun 1441 H ini berbeda dengan ibadah puasa Ramadan sebelumnya. Ibadah puasa tahun ini penuh dengan keprihatinan umat Islam. Pandemi Covid-19 sedang melanda dunia, tanpa diskriminasi, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, negara yang berpenduduk muslim atau nonmuslim, berpenduduk kulit putih atau kulit hitam, berpenduduk kulit sawo matang atau sawo busuk.
Puasa berarti menahan (al-imsak) makan, minum dan berhubungan layaknya suami-istri mulai fajar sampai terbenam matahari. Pembelajaran puasa Ramadan melatih kesabaran, kejujuran, amanah, menjauhi perilaku amarah, peduli, dan berbagi dengan orang yang ekonominya kurang beruntung, baik seiman maupun beda agama, menuju ketakwaan kepada Allah Swt.
Rasa lapar orang berpuasa merupakan role playing orang fakir, miskin, dan orang yang papa. Sejatinya orang berpuasa juga harus mampu menahan diri dari perbuatan dan perkataan yang tidak baik. Walaupun perbuatan atau perkataan yang kurang baik tidak akan membatalkan puasa, tetapi akan menggugurkan nilai pahala puasa.
Sunah bagi orang yang berpuasa adalah berbuka dengan makanan yang manis-manis, makanan yang sehat, makanan yang halal lagi baik atau tayib (al-Baqarah ayat 168) dan pola makan sewajarnya, tidak berlebihan (surat al-A’raf 31). Ketika berbuka dan sahur sebaiknya memakan makanan yang bergizi dan bervitamin. Makanan yang bergizi akan menghasilkan energi lebih maksimal, beribadah lebih optimal, dan tubuh akan kebal (imun) terhadap berbagai macam penyakit, temasuk virus corona.
Rasulullah SAW 14 abad yang lalu telah memberikan petunjuk dalam asupan kebutuhan perut, sebagaimana hadis, Sudah selayaknya perut terisi atas tiga bagian: sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minum, dan sepertiga untuk bernapas. Pemerintah dan MUI menyatakan penyebaran Covid-19 bisa diputus dengan cara stay at home atau berpuasa untuk tidak berkontak langsung dengan pasien, menjaga jarak atau social distancing dan physical distancing, demi menjaga keselamatan masyarakat yang lebih luas. Perilaku tersebut termasuk perilaku ibadah sosial (ghoiru mahdhah) yang lebih utama dari ibadah individual.
Ibadah mahdhah adalah ibadah yang sudah ditentukan syarat dan rukunnya. Sementara ibadah ghoiru mahdhah adalah ibadah yang tidak terikat syarat dan rukun. Oleh karenanya, ibadah ghoiru mahdhahpun harus sesuai Al-Qur’an dan sunah Rasul, termasuk dinamisasi sains.
Bagaimana kita bisa beribadah lebih khusyuk, kalau kesehatan pribadi terganggu? Bagaimana kita bisa membantu kesusahan ekonomi orang yang butuh, sementara jiwa raga kita rapuh? Bagaimana kita bisa menolong saudara kita, kalau jiwa raga kita tidak berdaya? Bagaimana kita bisa menasihati dalam kebaikan, kalau tutur kata kita menyakitkan?. Sudah seharusnya kita menjaga tutur kata yang humanis bukan membuat orang meringis. Tutur kata yang harmonis bukan membuat orang menangis dan tutur kata yang merangkul bukan memukul. Inilah hakikat berpuasa di bulan Ramadan yang kita jalankan yang masuk dalam katagori tingkatan puasa khusus.
Tingkatan puasa menurut Utsman bin Hasan bin Ahmad al-Syakir al-Khaubawi dalam kitab Durratun Nasihin ada tiga, yakni puasa awam, puasa khusus, dan puasa khususulkhusus.
Pertama, puasa umum atau puasa orang awam, yaitu puasa dengan menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan dengan suami atau istri. Kedua, puasa khusus adalah puasanya orang-orang saleh, yaitu mampu menahan makan, minum, dan berhubungan dengan suami atau istri ,sekaligus berusaha keras menjaga seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat, mulai dari mata, lisan, telinga, seluruh anggota tubuh dari perbuatan/amalan makruh, dan makan secukupnya atau proporsional saat berbuka walaupun dengan memakan makanan yang halal dan miliknya sendiri. Ketiga, puasa khususulkhusus, yakni puasanya para ambiya dan siddiqin.
Dengan demikian, puasa Ramadan tahun ini dengan mengikuti anjuran pemerintah agar ibadah dilakukan di rumah, mulai dari tarawih, salat berjemaah, dan iktikaf bersama keluarga, sesungguhnya tidak akan mengurangi nilai pahala ibadah puasa. Ketaatan terhadap keputusan pemerintah menjaga jiwa raga dan keturunan (al-khifdz an-nafs wan nasl) demi kemaslahatan umat yang lebih luas.
Ibadah memberikan iftar, buka bersama anak yang papa, sahur on the road dengan anak jalanan, berbagi sedekah, menunaikan zakat mal, zakat fitrah, dan peduli Covid-19, dapat dilakukan secara onlinemelalui lembaga resmi, seperti Care LAZIS NU. Nilai ibadah tersebut pahalanya sama dengan yang ditunaikan oleh dirinya sendiri secara langsung, bahkan kemungkinan lebih mulia derajat pahalanya.
Ibadah pada hakitnya adalah semata-mata mencari rida Allah Swt, terpenuhi syarat rukun, seperti puasa menahan segala bentuk yang membatalkan puasa, merusak pahala puasa, dan menahan diri untuk stay home serta menjaga jarak agar Covid-19 terhenti, jauh lebih berpahala dan bermartabat dalam pemaknaan Ramadan tahun ini secara kontektual. Wallahu a’lam bish showab.
Soleh Abwa
Wakil Sekretaris LP Ma’arif NU PBNU dan Guru PAI SMAN 11 Jakarta