Jakarta – Wakil Presiden Prof Dr KH Ma’ruf Amin mengajak kita semua dan menekankan agar seluruh masyarakat Indonesia dapat bersama-sama berjuang bersama dan membantu pemerintah dalam memerangi wabah Covid-19 dengan mengamalkan empat hal, yakni iman, imun, aman, dan amin.
Iman dilakukan dengan meyakini kehadirat Allah Swt bahwa wabah ini akan berlalu dan dapat dilalui dengan baik. Imun dapat dijalankan dengan kesadaran diri dalam menjaga kesehatan, mengonsumsi vitamin, dan melakukan olahraga secara teratur. Aman dapat dicapai dengan mengikuti anjuran pemerintah untuk menjaga jarak, menjaga kebersihan, dan tidak berkumpul di tempat yang ramai. Amin dilakukan dengan memanjatkan doa kepada Allah Swt.
Di bulan suci Ramadan ini, kita perlu membangun kembali pemahaman pada diri masing-masing bahwa ibadah merupakan inti keberagamaan seseorang, karena melalui ibadah kita akan semakin dekat dengan Tuhan. Kaum sufi kurang suka melakukan ibadah yang hanya dilakukan secara formal, tanpa menyentuh kalbu dan tanpa merasakan kehadiran Tuhan dalam kehidupan. Ibadah demikian hanyalah sia-sia belaka.
Bagi kaum sufi, gerak tubuh harus menyatu dengan gerak hati. Kalau tidak, maka ibadah menjadi hampa. Rasulullah saw. bersabda,“Banyak orang melakukan salat, tetapi yang diperoleh dari salat itu hanyalah letih dan payah. (HR al-Nasa’i dan Ibn Majah). Demikian pula di dalam hadis lain dinyatakan bahwa, Berapa banyak orang melakukan puasa, tetapi yang diperoleh dari puasanya hanyalah lapar dan dahaga.
Dari isyarat-isyarat hadis tersebut, kaum sufi berkesimpulan bahwa setiap amal ibadah harus sejalan dengan kesadaran hati, tanpanya ibadah tidak mengandung arti. Nilai suatu ibadah bukan hanya ditentukan oleh bentuk lahirnya, tetapi tergantung pada kesadaran batin pelakunya. Seseorang mungkin mendapat nilai amat baik, kurang, ataupun jelek pada ibadah yang dilakukannya, dan itu tergantung pada kesadaran hatinya.
Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya seorang hamba yang melakukan salat, tidak dituliskan untuknya seperenam atau sepersepuluhnya, yang dituliskan untuknya sesuai dengan yang ia pahami dari ibadah itu. (HR Abu Dawud, al-Nasa’i, dan Ibn Hibban). Sehubungan dengan hadis ini, ‘Abd Allah bin Zayd berkata, Ulama telah sepakat bahwa yang didapatkan oleh seseorang dari salatnya itu sejauh yang dipahaminya.
Penghayatan ibadah itu sangat penting. Karena, melalui penghayatan akan tumbuh kesadaran batin bahwa kehidupan yang dijalani oleh manusia bukan semata-mata bertujuan untuk mengejar benda. Sebab, kalau semata-mata benda, manusia tak pernah puas dengan yang telah diperolehnya. Semakin benda itu dikejar, ia merasa bahagia sekiranya ia mendapatkan yang diangankannya itu. Namun, setelah benda itu ada di tangan, sehari-dua hari kemudian ia merasa bosan dengannya.
Oleh sebab itu, melalui penyadaran diri, manusia akan menemukan hakikat kehidupan. Kepuasan dan kebahagiaan itu terletak pada sejauh mana seseorang mampu mendekatkan dirinya kepada Yang Maha Mutlak. Jasad manusia diciptakan dari sari-pati tanah dan merasa puas apabila mendapatkan materi-materi yang bersumber dari tanah pula.
Lain halnya dengan roh manusia yang bersumber langsung dari Ilahi. Ia akan merasa puas apabila berada di hadirat Ilahi, dekat dengan-Nya. Lalu, apakah manusia akan dapat berada sedekat-dekatnya dengan Tuhan? Allah swt menyatakan manusia dapat berada sedekat mungkin di sisi-Nya, bahkan tenggelam ke dalam kemahamutlakan-Nya. Proses pendekatan diri kepada Ilahi dengan cara ibadah. Dalam sebuah hadis Kudsi disebutkan, Tidak ada sesuatu yang dapat mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Kusukai daripada melakukan yang telah Kuwajibkan. Hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan melakukan amal-amal utama, sehingga membuat-Ku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, Akulah pendengarannya, yang dengan itu ia mendengar, Akulah tangannya, dengan itu ia meraba, Aku kakinya, dengan itu ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Aku kabulkan permohonannya dan kalau ia meminta perlindungan-Ku, Aku melindunginya. (HR Bukhari). Dari hadis ini jelas, ibadah yang senantiasa ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya akan mengantarkan muslim berada sedekat mungkin di sisi Allah, sehingga dengan itu, Allah akan menunjuki segala aktivitas hidupnya.
Bagaimana kiat menghayati ibadah? Rasulullah saw menunjukkan jalannya: dengan mengihsankan segala bentuk ibadah yang dilakukan. Apa itu ihsan? Ketika Nabi SAW ditanya oleh Jibril, Beliau menjawab, Engkau mengabdi kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak dapat melihat-Nya, [rasakan dengan kalbu] bahwa Dia melihatmu. (HR Bukhari dan Muslim). Sebab, dengan merasakan kehadiran Tuhan, maka segala amal yang dilakukan tidak akan dilaksanakan secara sembrono, tetapi pasti akan dilakukan sesempurnanya. Ini dari segi kuantitas.
Dari segi kualitas, hendaknya seseorang melakukan suatu ibadah dengan penuh keikhlasan, bukan mengharap pahala, bukan mengharap imbalan, tetapi dilakukan karena itu tugas seorang hamba terhadap Tuhannya. Tuhan sendiri tidak butuh kepada pengabdian hamba-Nya, Dia Mahakaya, Mahasempurna. Di dalam hadis Kudsi Allah berfirman, Hai hambaku, seandainya orang-orang terdahulu dan terkemudian di antara kamu, baik manusia maupun jin, berdiri di suatu lembah memohon kepada-Ku, lalu masing-masing Kukabulkan permohonannya, hal itu tidak sedikitpun mengurangi perbendaharaan-Ku. Itu hanyalah laksana memasukkan jarum ke dalam laut [tak menambah dan tak mengurangi air laut itu].” (HR Muslim). Akan tetapi, ibadah yang dilakukan manusia adalah untuk dirinya sendiri, untuk menyempurnakan dirinya, sehingga ia dapat mencapai peringkat tertinggi di kalangan makhluk. Dialah insan kamil yang pada dirinya tertuang citra Ilahi secara utuh dan paripurna.
Deden Saeful Ridhwan MZ. MA.
Pengurus LP Ma’arif NU PBNU dan Dosen STIT Islamic Village