Oleh Yanto Bashri
Menteri Agama Jend (Purn) Fachrul Razi saat membuka Kemah Pemuda Lintas Paham Keagamaan Islam (6/11/2019) mengungkapkan keprihatinannya terhadap gejala radikalisme di kalangan generasi muda usia 17 tahun hingga 35 tahun. Menteri Agama menyebut beberapa kasus seperti Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kuningan, Bom Masjid Polres Cirebon, dan Bom Thamrin melibatkan generasi muda patut jadi perhatian masyarakat dalam dan luar negeri.
Gejala radikalisme ini dilakukan dalam bentuk tulisan dan video melalui berbagai sosial media seperti Twitter, Facebook, Skype, dan YouTube. Penyebaran tersebut di Indonesia tidak hanya menyasar masyarakat biasa, tetapi juga mempengaruhi dunia pendidikan melalui buku pegangan dan pembelajaran siswa. (Thomas M Sanderson, 2015: 64)
Genealogi radikal
Perilaku radikal di Indonesia terutama di kalangan generasi muda sebagaimana dijelaskan di atas, merupakan paham-paham keagaman yang memiliki akar kuat dalam tradisi keagamaan Islam. Pemilihan khalifah pertama menjadikan umat terbelah antara pendukung Ali dan Abu Bakar, jadi awal lahirnya perbedaan baik dari sisi budaya politik maupun sosio teologi. Puncaknya pada terbunuhnya khalifah ketiga Utsman ibn Affan.
Perilaku politik berdampak pada tradisi keagamaan ini juga dapat dilihat pada budaya politik Islam di Indonesia, terutama saat negeri berjuang merebut kemerdekaan pada 1942-1945 dan perumusan bentuk-bentuk negara pada 1945-1949. Usaha berbagai kelompok masyarakat masa ini merupakan kontestasi politik dalam meneguhkan eksistensi sebagai kelompok berpengaruh (influencer).
Genealogi semacam ini setidaknya digambarkan Martin van Bruinessen (2002) dalam Genealogies of Islamic Radicalism in Post-Suharto Indonesia bahwa radikalisme merupakan paham yang diperjuangkan sekelompok masyarakat ketika negara sedang menyusun platform bersama dalam berbangsa dan bernegara. Ketika sejumlah kelompok masyarakat berjuangan Pancasila dan UUD 1945, kelompok ini mengusulkan syariat Islam sebagai ideologi negara.
Perjuangan politik terus digelorakan hingga berakhirnya pemerintahan Soekarno dan makin massif ketika pemerintahan dipimpin Soeharto. Bruinessen menggambarkan, memasuki 1980-an, paham ini bermetamorfosa dalam bentuk penerjemahan karya-karya intelektual Timur Tengah seperti Abu al-A’la al-Maududi, Muthahhari, Ali Syari’ati, dan lainnya. Meski mengalami kegagalan sebagaimana masa pemerintahan Soekarno, platform perjuangan kali ini mampu menarik simpati siswa dan mahasiswa.
Ketika negeri memasuki era reformasi kelompok ini memperoleh momentumnya untuk memperlihatkan eksistensinya. Kekuatannya di tengah masyarakat sulit dibantah. Pemerintahan BJ Habibie terlihat lebih memilih bermitra dengan kaum Islamis daripada kekuatan Soehato dan Orde Baru. Eksistensi tersebut makin nyata ketika kelompok ini dijadikan sebagai paramiliter polisi dan tentara. (Bruinessen, 2002: 148)
Konsep pencegahan
Radikalisme agama di Indonesia telah mengakar kuat dalam tradisi keagamaan masyarakat yang memiliki dimensi politis. Paham ini senantiasa muncul sebagai gerakan politik-ekonomi Indonesia belakangan mulai masuk dunia pendidikan. Kondisi ini memerlukan respons tepat dari pemerintah untuk menjaga eksistensi NKRI di masa depan.
Selain dibutuhkan jalinan kerja sama dengan ormas keagamaan, pemerintah dalam waktu bersamaan juga memerlukan konsep yang dapat dilakukan untuk mengatasi radikalisme di dunia pendidikan. Konsep baru tersebut diperlukan jika konsep lama yang dijalankan tidak cukup ampuh mengatasinya.
Jika sepakat dengan penjelasan tersebut, ada beberapa langkah yang dapat dipertimbangkan pemerintah dalam penanganan radikalisme. Langka ini merupakan konsep yang dijalankan LP Ma’arif NU dan INOVASI –dua lembaga di bawah PBNU dan Kedubes Australia—dalam mengenalkan konsep membaca (literasi) berhitung (numerasi) di kabupaten Sumenep, Pasuruan, dan Sidoarjo Jawa Timur sepanjang tahun 2019 untuk pengembangan metodologi pembelajaran.
Usaha ini tidak sekadar mendorong siswa mengenal huruf dan angka secara cepat, tetapi juga membentuk siswa belajar secara mandiri di kelas. Pertama, pendidikan guru. Guru ditempatkan sebagai agent of changes yang harus mampu berkreasi untuk melahirkan sebuah perubahan melalui pembelajarannya. Dalam hal ini LP Ma’arif NU menyelenggarakan sejumlah pelatihan guru untuk memberikan pemahaman baru tentang pentingnya sebuah metodologi dan kreatifitas media pembelajaran.
Kedua, ruang baca. Langkah penting berikutnya adalah penyediaan ruang pojok baca. Selain melakukan kreasi dalam pembelajaran, guru bersama madrasah juga dituntut untuk menyediakan buku-buku bermutu yang dibutuhkan anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan intelektual dan emosional. Buku-buku tersebut disediakan di pojok kelas masing-masing memungkinkan siswa membacanya baik pada saat jam istirahat maupun pembelajaran aktif, dan guru berinteraksi dengan siswa melalui diskusi yang bermutu.
Buku-buku yang disediakan tentu tidak sekadar bacaan terkait pelajaran kelas, tetapi juga mencakup konten-konten yang memberikan paham-paham keagamaan rahmat lil alamin. Melalui buku siswa diskusi dan menyerap pengetahuan dari guru dan siswa lainnya. Langkah-langkah tersebut cukup memberikan sarana bagi madrasah untuk jadi tempat belajar dinamis yang penulis anggap bisa dipakai dalam usaha pemerintah mencegah paham-paham radikalisme yang tumbuh di dunia pendidikan.